PARA pengguna tenaga kerja kerap mengeluhkan lulusan perguruan tinggi (PT) yang berkualitas setengah hati. Bagaimana tidak kecewa, kalau lulusan yang dicetak ternyata kurang tangguh, tidak jujur, cepat bosan, tidak bisa bekerja teamwork, sampai minim kemampuan berkomunikasi lisan dan menulis laporan dengan baik. Mengapa itu bisa terjadi?
Tahun 2001, pihak rektorat ITB pernah menggelar pertemuan dengan berbagai stakeholders penyedia kerja dan pengguna lulusan ITB. Pihak rektorat ITB saat itu menyampaikan imbauan agar perusahaan tidak memotong pelamar kerja semata-mata berdasarkan indeks prestasi (kriteria IP > 2,75). Pertemuan dengan sedikitnya 10 mitra industri itu kemudian membuahkan masukan balik terhadap ITB.
Salah satu respons datang dari perusahaan Schlumberger, yang menyatakan bahwa lulusan ITB kurang tekun meniti karier, sehingga rata-rata memiliki progress career yang kurang baik. Dari 75% intake 20-an tahun lalu, hanya 38% yang mencapai posisi manajer ke atas. Meski punya karakteristik positif, yaitu tingkat intelegensia relatif tinggi, namun boleh dibilang masih kurang dalam sisi kerja keras dan dedikasi.
Dalam dunia kerja, komentar tentang kualitas para sarjana semacam, "pintar sih, tapi kok tidak bisa bekerja sama dengan orang lain" atau "jago bikin perancangan, tapi sayangnya tidak bisa meyakinkan ide hebat itu pada orang lain", atau "baru teken kontrak 1 tahun tapi sudah mundur, kurang tahan banting, nih,”, bukannya tidak jarang telontar. Tentunya hal itu bisa menjadi bahan evaluasi, bukan hanya bagi kampus tertentu, tetapi juga seluruh kampus di tanah air tanpa terkecuali.
Ada kecenderungan apa yang diberikan di bangku kuliah tidak sepenuhnya serasi dengan kebutuhan di lapangan kerja. Sebagian besar menu yang disajikan, boleh dibilang berupa keterampilan keras (hard skill). Padahal, bukti-bukti menunjukkan penentu kesuksesan justru kebanyakan adalah keahlian yang tergolong lunak (soft skill).
Simak saja survei dari National Association of College and Employee (NACE), USA (2002), kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara. Hasilnya berturut-turut adalah kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerja sama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya analitik, kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks prestasi (IP >= 3,00), kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha.
IP yang kerap dinilai sebagai bukti kehebatan mahasiswa, dalam indikator orang sukses tersebut ternyata menempati posisi hampir buncit, yaitu nomor 17. Nomor-nomor yang menempati peringkat atas, malah kerap disangka syarat basa-basi dalam iklan lowongan kerja. Padahal, kualitas seperti itu benar-benar serius dibutuhkan.
Pengembangan di kampus
Menurut Patrick S. O'Brien dalam bukunya Making College Count, soft skill dapat dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning Characteristics, yaitu, communication skills, organizational skills, leadership, logic, effort, group skills, dan ethics. Kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan itu, disebut soft skill.
Ketidakseimbangan pendidikan di ruang kuliah yang lebih bertumpu pada hard skill, tentu saja perlu segera diatasi, antara lain dengan memberikan bobot lebih kepada pengembangan soft skill. Implementasi soft skill tersebut dapat dilakukan baik melalui kurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler. Lalu bagaimana pengembangannya di kampus-kampus?
Di Universitas Indonesia, salah satunya di magister manajemen pemasaran, terdapat mata kuliah soft skills wajib (nonkredit) yang diberikan dalam bentuk workshop, yaitu Presentation and Writing Skills dan Book Review. Di Universitas Bina Nusantara, baru-baru ini juga mulai memasukkan mata kuliah bernama character building untuk semester I-IV.
Kampus yang juga tengah memfokuskan pengembangan soft skill melalui kurikulum adalah Universitas Widyatama. Ada 20 kualitas penting seorang juara berdasarkan survei NACE, dipakai sebagai acuan atribut soft skill. Tiap program studi per fakultas bisa memilih 5-6 atribut yang paling dirasa penting dan sesuai kebutuhan, untuk embedded pada beberapa mata kuliah inti.
Penerapan atribut soft skill di ruang kelas, misalnya, lebih banyak lagi tugas presentasi, diskusi kelompok, sampai role play. Dengan tujuan, semakin mengasah kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama. Hal ini penting sebagai aplikasi pendidikan yang bukan sekadar bagaimana dosen mengajar dengan baik (teacher centre learning), tapi bagaimana mahasiswa bisa belajar dengan baik (student centre learning). "Pusatnya memang tidak lagi pada dosen, tapi mahasiswa diperankan lebih jauh," ucap Nina Nurani, staf pengajar sekaligus koordinator pengembangan soft skill di Universitas Widyatama, ketika ditemui Kampus di sela-sela diskusi "Relevansi Soft Skill dan Dunia Kerja" di Universitas Widyatama, Sabtu (26/5) lalu.
Di STT Telkom, pengembangan soft skill juga diarahkan pada kegiatan nonakademik. Untuk mendorong mahasiswa aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, mulai semester tahun 2007/2008 mendatang akan diberlakukan penilaian berbentuk Transkrip Aktivitas Kemahasiswaan (TAK). TAK ini merupakan syarat ikut wisuda dan akan diberikan mendampingi transkrip akademik saat mahasiswa lulus.
"Sampai seorang mahasiswa lulus, dia harus mengumpulkan skor tertentu dengan aktif berkegiatan, misalnya, aktif di himpunan, menulis artikel di media massa, peserta lomba, dsb. Sebenarnya fokusnya bukan angka, tapi dengan dia aktif ada sisi soft skill yang terasah. Selama ini pengembangan nonakademik sudah ada, namun karena bukan sistem, jadi berjalan alakadarnya," kata Wiyono, Director Student and Career Development STT Telkom, sembari menambahkan bahwa TAK bisa jadi nilai plus mahasiswa mencari kerja dan beasiswa.
Menurut Wiyono, pentingnya soft skill dalam mencetak lulusan sebenarnya sudah disadari sejak lama oleh kalangan pendidik. Namun, selama ini hanya "dititipkan" ke kurikulum dan belum mendapat perhatian khusus. Selain itu, memang ada keterbatasan waktu dalam bobot SKS. "Kesalahan penerjemahan kurikulum, menyebabkan proses kuliah hanya knowledge delivery, bukannya kompetensi. Arah pendidikan kita selama ini memang lebih banyak mendidik orang jadi ilmuwan. Padahal soft skill juga dibutuhkan dunia industri kita," ungkap Wiyono.
Menurut Ichsan S. Putra, Direktur Direktorat Pendidikan ITB, yang juga penulis buku Sukses dengan Soft Skills, Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial Sejak Kuliah, apa yang dipelajari selama perkuliahan, paling hanya terpakai beberapa persen, kecuali menjadi pengajar atau peneliti. Teori mungkin tidak akan tersentuh lagi. Tapi penerapan teorilah yang dibutuhkan. Namun demikian, bukan berarti kuliah tidak penting. Menurutnya, kuliah amat berguna untuk investasi masa depan. Salah satu yang dilatih dalam perkuliahan adalah belajar untuk belajar. Belajar untuk melakukan proses, agar logika dan keterampilan kita terasah.
Menurut Ichsan, untuk mendiseminasikan soft skill pada para mahasiswa, faktor yang sangat berpengaruh adalah dimulai dari dosen. Maka, Ichsan yang juga turut merumuskan pengembangan soft skill di ITB, mendukung pelaksanaan pelatihan bagi para dosen supaya mengerti lebih jauh tentang soft skill. "Dosen harus bisa jadi living example. Dari mulai datang tepat waktu, mengoreksi tugas, dsb. Bukan apa-apa, kemampuan presentasi dan menulis mahasiswa masih banyak yang belum bagus. Dosen juga harus bisa melatih mahasiswa supaya asertif, supaya berani membicarakan ide. Fenomena mahasiswa menyontek juga jangan dianggap biasa, ini masuk faktor kejujuran dan etika dalam soft skill. Lihat di Indonesia, korupsi begitu menjamur, karena orang sudah terbiasa tidak jujur sejak masa sekolah," ungkapnya panjang lebar.
Terlepas dari apa kawan Kampus ingin bekerja pada orang lain atau membuka usaha sendiri, yang jelas soft skill sangat diperlukan. Bukan hanya untuk lingkup dunia kerja, namun juga dalam tiap sendi kehidupan. "Mahasiswa sebaiknya aktif berkegiatan apa pun yang positif. Jangan jadikan tak punya waktu sebagai alasan. Kuncinya, pandai mengatur skala prioritas dan time management. Jangan hanya lulus dengan gelar," katanya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar