Cari Artikel

Kamis, 19 November 2009

Kompetisi, antara HARD SKILL atau SOFT SKILL

Gosip, ngerumpi bukan [lagi] monopoli kaum hawa. Semua jenis kelamin, bahkan juga semua mahluk, berhak ngegosip, ngerumpi. Makanya, segala kaum ekstrimis yang suka membawa pentungan untuk memukuli orang yang berbeda pendapat itu harus diberi tahu bahwa berbicara, dan oleh karenanya juga berpikir, adalah hak semua bangsa. Bangsa manusia. Bangsa jin. Dan bahkan bangsa hewan, sekalipun.

(-) “Cak, sampeyan tau ngga apa yang aku denger dari bos?”
(+) “Apaan?”
(-) “Itu lho, lelananging jagat, miss universe, organisasi kita.”
(+) “Alah, apa lagi ini. Apaan?”
(-) “Alah, Cak. Tebak deh, menurut sampeyan, siapa sih yang dinilai sebagai the best dalam organisasi kita ini, oleh master kita.”

Si (+) rupanya mau juga berpikir. Pembicaraan keduanya terhenti. Kedua kaum adam ini tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Rupanya-rupanya, tidak mau kalah dari kaum hawa, dua anggota kaum adam inipun hobby ngegosip, ngerumpi. Dan tidak terbebas dari hukum alam, yang namanya ngegosip, ngerumpi; pastilah saling lihat, saling lirik kelebihan dan kekurangan orang lain. Hehehe.



(+) “Mbuhlah. Aku mana memperhatikan hal-hal gituan.” Lanjut si (+). Berbohong.
(-) “Itu lho. Yang diakui the best dalam organisasi kita ini adalah si X.”

Si (+) terdiam. Rupanya surprise juga dia. Tidak mengira.

(+) “Alaaah, loe denger dari siapa sih?”
(-) “Iya, bosku bilang kalau master kita bilang begitu ke dia. Dan ini artinya, menurutku, Si X bahkan dianggap lebih baik dari si Y, yang dikenal dengan si “master schedule”. Lebih dari si Z, yang terkenal sebagai “prolog manager”. Lebih dari si YY, yang mengantongi gelar master dan telah terkenal diakui dalam banyak forum nasional dan internasional. Lebih dari si ZZ, yang sudah sangat senior dalam bidangnya.”
(+) “Wah, menarik tuh. Aku jadi heran juga. Sesaat, aku heran memang. Tapi, sebentar, kalau aku renungkan dalam-dalam, sepertinya aku dapat juga melihat keunggulan si X. Jadi, mungkin memang pantas si X dianggap sebagai the best diantara kita.”
(-) “Itulah, Cak. Aku cuman belum bisa melihat dimana keunggulan si X.”
(+) “Baiklah. Coba kita lihat sekarang kebalikannya saja. Disamping keunggulan yang kamu kira dimiliki si Y, Z, YY, dan ZZ itu; apakah kamu melihat ada kekurangannya dalam diri mereka?”
(-) “Ntahlah, Cak. Aku ga melihatnya. Setahuku, mereka mestinya hebat.”
(+) “Hehehe. Sebenarnya aku juga ga dapat melihat kekurangan mereka. Mereka rasa-rasanya memang sudah jauh di atas kita, sehingga sulit juga untuk dapat melihat kekurangan mereka. Tapi, bukankah kita sering mendengar bahwa si Y ditolak oleh PM anu. Si Z tidak dikehendaki oleh PM di proyek ani. Bukankah kita sering mendengar bahwa si YY, ZZ konon, susah diajak kerjasamanya.”
(-) “Wah, itu artinya kan hanya tergantung pada penilaian si user, dunk.”
(+) “Yah, tepat sekali. Tapi, bukankah memang demikian hukum alam-nya? Bawahan akan dinilai oleh atasannya?”
(-) “Yah, susah kalo begini. Itu kan bisa sangat subyektif, Cak. Hanya masalah kesesuaian selera.”

Keduanya lalu terdiam untuk beberapa saat. Suasana hening. Masing-masing tenggelam di dalam dirinya.

(-) “Okelah, Cak, anggap si Y, Z, YY, dan ZZ memiliki kekurangan itu. Tapi, apa sih yang menonjol dari si X. Bukankah kemampuannya dalam scheduling, cost & budgeting adalah biasa-biasa saja?”
(+) “Yah. Memang begitu. Kayaknya memang begitu. Tidak ada yang menonjol dalam hal itu. Tapi, disitulah pointnya; ketika si Y, Z, YY, ZZ hebat kemampuannya dalam scheduling, cost & budgeting, toh itu masih saja dianggap kurang. Sementara si X, yang tidak hebat dalam scheduling maupun cost & budgeting; toh, ia dianggap sebagai the best.”
(-) “Sepertinya bukan kemampuan itu, Cak, soal-ujinya.”
(+) “Exactly. Dan kalau tidak salah, justru disamping kemampuannya yang sekedar cukup dalam scheduling maupun cost & budgeting; si X ini memiliki keunggulan dalam kemampuannya berkomunikasi, kepeduliannya pada organisasi, kemampuannya dalam organizing people, delegating, team work, leadership dan lain-lain kepribadian positif.”
(-) “Ah, apa iya, Cak?”
(+) “Jelas. Aku menyaksikan itu. Maka, kalau aku tidak salah, nih; yang berbeda disini adalah keunggulan di dalam dua kategori keahlian yang berbeda, yang biasa kita sebut dengan hard skill versus soft skill.”
(-) “Artinya, pasar sekarang, dalam arti user sekarang, lebih mementingkan soft skill ini ketimbang hard skill?”
(+) “La iya lah. Masa ya iya dong. Hehehe.”
(-) “Serius, Cak.”
(+) “Iya. Lihat kita sendirilah; memangnya kita suka, apa, kalo kita diberi anak buah yang bandel, ga mau nurut omongan orang, cuman maunya sendiri, ga bisa diajak kerja sama, sulit diajak komunikasi? Kalaupun orangnya sangat pinter, tapi kalo seperti itu; siapa tahan? Hehehe?”
(-) “Iya, aku ngerti. Tapi, itu bisa sangat subyektif, khan?”
(+) “Ntahlah. Tapi, kayaknya memang rada-rada subyektif gitu, deh. Hehehe. Apalagi aku selalu melihat, ada kalanya seorang dapat baik komunikasinya, koordinasinya, team worknya dengan seseorang, atau sebuah team; tapi, orang yang sama itu bisa saja menjadi jelek komunikasinya, koordinasinya, atau team worknya dengan orang yang lain lagi atau team yang lain. Seseorang, satu orang yang sama, dapat berkembang dalam suatu lingkungan, dan tapi dapat saja lumpuh di dalam lingkungan yang berbeda.”
(-) “Yah, artinya, tidak selalu salah si orang itu kalau dalam suatu lingkungan seseorang tidak dapat berkembang.”
(+) “Exactly. Begitu juga Inisiatif, keberanian mengambil keputusan atau tindakan; dapat menjadi kuat atau lemah dalam sebuah lingkungan atau organisasi yang berbeda. Kejernihan berpikir ada yang dapat berkembang dalam tekanan stress tertentu, tapi ada pula yang justru mati dalam sedikit pressure.”

Dan diskusi itu selesai. Tanpa ada kesimpulan berarti. Keduanya lalu menyantap makan siangnya, yang sudah mulai mendingin.

Udara terasa demikian panas. Musim kemarau. Semilir angin sepoi-sepoi ntah dimana. Tapi, ini memang Jakarta. Jangan berharap yang bukan-bukan.

Dan inilah apa yang aku ingat, tulisan Daniel Goleman, the author of Emotional Intelligence, dalam Harvard Business Review – What Makes a Leader; “there are five components to emotional intelligence: self-awareness, self-regulation, motivation, empathy and social skill. … Emotional Intelligence is the Sin Qua Non of Leadership. Without it, a person can have the best training in the world, an incisive, analytical mind, and an endless supply of smart ideas, but he still won’t make a great leader.”

Dan disini, dalam konteks cerpen-gossip kita ini; self-awareness perlu mendapatkan perhatian utama. Yah, maksudnya, mungkin kita perlu belajar untuk lebih bersabar mengenali diri. Dimana strength dan weakness kita. Terus memupuk yang sudah kuat, dan terus memperbaiki kelemahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...