Perencanaan keuangan di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Boro-boro melakukan manajemen keuangan jangka panjang, seringkali belanja harian tak terkendali dan menggerus tabungan. Itu kalau tidak berutang.
Masalahnya, karakter masyarakat Indonesia terhadap manajemen keuangan masih jauh dari ideal, malah bisa dibilang buruk. Apalagi, pandangan masyarakat Indonesia secara umum terhadap produk-produk perbankan, seringkali salah kaprah dan menyebabkan berbagai masalah sistemik dalam sistem ekonomi.
Contohnya, penggunaan kartu kredit. Memang kartu kredit sekilas memiliki fungsi utama sekedar memberikan utang kepada pemiliknya. Namun kenyataannya, tak sedikit pemegang kartu kredit yang kesulitan mencicil tagihan bulannya lantaran terlilit jumlah utang yang sangat besar.
Boro-boro membayar cicilan pokok utang. Kadang-kadang, membayar cicilan bunganya saja sudah kesulitan.
"Itu bisa terjadi karena pengelolaan keuangan di Indonesia yang masih kurang," ujar Country Business Manager Citi, David Gormley di Jakarta, Kamis (20/8/2009).
Akibatnya, ujar Gormley, banyak masalah seputar pengelolaan utang di Indonesia. Hal itu diakui juga oleh Peneliti Utama Senior DPNP Bank Indonesia, Zainal Abidin. Menurutnya, masyarakat umumnya belum paham fungsi produk kartu kredit yang diberikan perbankan.
"Kesalahpahaman masih terjadi dalam penggunaan kartu kredit. Sesungguhnya, kartu kredit lebih berfungsi sebagai alat pembayaran non tunai yang pembayarannya bisa dilakukan kemudian," ujarnya.
Namun, lanjut Zainal, kebanyakan masyarakat menganggap kartu kredit sebagai sarana untuk berutang. "Ini menyebabkan tidak sedikit orang yang menimbun utang," ujar Zainal.
Kondisi ini kemudian menyebabkan porsi tabungan masyarakat menjadi tergerus oleh cicilan yang harus dibayarkan setiap bulannya. "Jika terjadi krisis, mereka akan mengalami kesulitan finansial," ujarnya.
Tak jarang pemegang kartu kredit yang membelanjakan batas kartu kreditnya (limit) dalam periode yang sangat singkat, sedangkan untuk melunasinya membutuhkan waktu setahun, malah bisa lebih.
Kalau sudah begini, pemegang kartu kredit sendiri yang repot. Hanya karena terburu-buru menghabiskan limit untuk membeli suatu barang yang nilainya tidak sanggup dibeli dengan kondisi keuangan yang sebenarnya, repotnya bertahun-tahun untuk melunasinya.
Contohnya seorang wanita bernama Indi yang diwawancara detikFinance. Wanita berusia 28 tahun ini memiliki 8 produk kartu kredit dari berbagai bank.
Awalnya, ia berhasil membagi penggunaan masing-masing limit 8 kartu kreditnya dengan baik. Namun karena berbagai alasan, ia menghabiskan seluruh limitnya yang totalnya senilai Rp 30 jutaan.
Alhasil, ia kini sibuk mengurusi cicilan kartu kreditnya tiap bulan tanpa memiliki kesempatan belanja dengan 8 kartu kredit yang dimilikinya.
"Semuanya sudah diblokir. Jadi sekarang saya harus membayar cicilan 8 kartu kredit itu tiap bulan tanpa bisa belanja lagi pakai kartu-kartu itu," ujarnya.
Pengakuan Indi, repotnya adalah karena cicilan 8 kartu kredit itu disertai bunga yang tidak sedikit jumlahnya. Dengan gajinya yang hanya Rp 4 jutaan per bulan, ia mengaku kerepotan membayar tunggakan semua kartu kreditnya.
Indi kini berencana mencari pinjaman retail seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) senilai Rp 30 juta untuk menutup tunggakan 8 kartu kreditnya.
"Sekarang yang penting bagaimana ini lunas dulu. Kalau bunga KTA kan lebih kecil, jadi saya masih bisa menanggung cicilannya tiap bulan. Kalau cicilan kartu kredit itu kan bunganya mahal," keluhnya.
Nah, bagi pengguna kartu kredit, sebagaimana dikatakan Zainal, sebaiknya fungsikan kartu kredit sebagai alat pembayaran non tunai bukan sarana berhutang.
Dengan menempatkan kartu kredit sebagai alat pembayaran non tunai, pemegang kartu kredit akan belanja pakai kartu kredit tidak melebihi kemampuan mencicil tiap bulannya.
"Ini bukan cuma untuk kepentingan bank, tapi nasabah kartu kredit juga," ujar Zainal.
www.detikFinance.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar