Jamak terjadi bahwa ketika sebuah bisnis sukses, terjadi upaya untuk ngeriung alias ikutan rame-rame. Pasar dibuat sedemikian rupa hingga cepat jenuh, bisnis jadi tidak menarik.
Jamak terjadi bahwa ketika sebuah bisnis sukses, terjadi upaya untuk ngeriung alias ikutan rame-rame. Pasar dibuat sedemikianrupa hingga cepat jenuh, bisnis jadi tidak menarik.
Jamak terjadi bahwa ketika sebuah bisnis sukses, terjadi upaya untuk ngeriung alias ikutan rame-rame. Tidak ada lagi rasa tabu untuk menjadi follower.
Di jalanan, ketika ada contoh sukses pisang goreng Ponti (kepanjangan dari Pontianak), maka banyak kedai bermunculan dengan nama yang hampir mirip-mirip. Jadinya, sekarang mulai banyak yang berguguran. Bukan tidak mungkin sebentar lagi habis.
Tatkala AFI di Indosiar muncul, dimana pemilihan bakat penyanyi dilakukan dengan pendekatan bisnis SMS untuk menentukan mereka yang tereliminasi, maka banyak TV bekerjasama dengan operator dan content provider (CP) ngeriung. Lalu muncullah Indonesia Idol (penyanyi), Pildacil (dai cilik), API (lawak), DreamBand (grup band) dll. Semua modelnya sama, mengirim sms dukungan kepada kontestan.
Kemudian, saat ini para pendukung mulai sadar, bahwa mereka untuk melakukan dukungan, ternyata harus membayar. Semakin fanatik semakin mahal pulsa yang dibayar. Bahkan, ada yang membuat tim sukses yang modalnya puluhan bahkan mungkin ratusan juta. Siapa untung, CP dan operator tentu.
Apakah bisnis tersebut bagus atau tidak, bukan perkara mudah menjawabnya. Ada beberapa pandangan, mumpung masyarakat lagi demam, hajar terus. Kalau jenuh, cari peluang lainnya. Yang penting target terpenuhi, segera tertutupi. Ya, kita memang harus melihat fakta, bahwa dalam setiap usaha di era modern dan semakin kapitalis ini, target-target-target selalu dibuat sedemikian rupa untuk diraih. Nah, tidak jarang target menelikung para pelaku bisnis dengan proses pembunuhan dini karena faktor kejenuhan tersebut.
Sebelum membahas lebih dalam, perlu kiranya diperhatikan beberapa gambaran di bawah ini.
Seorang teman mengaku suka sekali dengan ayam goreng. Pada kurun waktu selama 2 minggu, rekan-rekannya secara bergantian mentraktir teman tersebut dengan menu yang sama: ayam goreng. Pada hari terakhir dia lalu berkomentar: Gila loe, tiap hari aku kamu suruh makan ayam goreng sampai blenger. Apa yang terjadi, di hari-hari berikutnya dia pasti tidak mau makan ayam goreng lagi, bahkan bukan tidak mungkin akan berhenti total seterusnya, kapok.
Di sebuah kota di Solo, ada sebuah toko srabi yang cukup terkenal di kawasan Notosuman. Setiap hari lebaran, dimana insan-insan dari Solo mudik, jangan harap bisa mendapatkan srabi di atas pukul 12.00 WIB, pasti sudah kehabisan.
Meski sudah habis, sang penjual srabi tidak juga memperbesar volumenya. Bahkan tidak juga membuka cabang di tempat lain. Tampaknya sang penjual sudah menentukan bahwa untuk sehari volume logis yang harus diproduksi adalah sekian kilo terigu atau sekian liter santan dll.
Tapi apa yang terjadi dengan kasus srabi ini? Setiap hari selalu ada saja orang yang penasaran ingin membeli esok harinya, dan selalu berusaha datang lebih awal agar tidak kehabisan. Bukan membuat orang jenuh dan menghentikan makan srabi, tapi sebaliknya malah menghasilkan puluhan orang penasaran. Para penasaran-wan dan penasaran-wati ini tidak lagi menghitung kemungkinan karena terlalu sedikit bahan yang diproduksi, kemungkinan kesulitan mendapatkan kelapan untuk santan dan lain sebaginya, yang ada di benak mereka sebagian besar adalah: saking enaknya sampai kita tidak pernah kebagian!
Ini tentu bukan satu-satunya contoh. Banyak orang melakukan bisnis seperti ini, yang oleh para kapitalisme modern sering dicibir dengan kalimat: ”kenapa tidak buka cabang” , ”kok nggak bikin lebih banyak lagi sih” , atau ”wah mestinya bisa dibuat beraneka macam rasa dan ukurang dong”.
Dalam sebuah teori klasik, setiap kita melakukan usaha yang berkaitan dengan produksi selalu diperhitungkan laba yang diambil dari harga pokok produksi. Dari situ akan bisa diketahui nilai optimum dari hasil produksi atas kinerja secara keseluruhan.
Barangkali orang bisa beranggapan bahwa pedagang makanan srabi seperti contoh di atas membuang kesempatan dan tidak mau dengan untung yang di depan mata. Namun, barangkali sang pedagang sudah menghitung nilai optimum yang didapat.
Bila saja pedagang srabi meningkatkan omset produksi memenuhi pasar, kemungkinan yang terjadi adalah misalnya sbb; mereka harus menambah tenaga pelayan, mengurangi jam istirahatnya, tidak menghasilkan rasa yang prima yang menjadi ciri khas, mempercepat aus barang-barang atau bejana yang menjadi bagian dari proses produksi, dan tidak menghasilkan rasa kangen atau penasaran pelanggan.
Sering orang salah menterjemahkan bahwa penghasilan optimal adalah identik dengan penghasilan besar. Optimum itu adalah identik dengan ROI (return on investment). Bila saja menuruti pasar, dalam contoh pedagang srabi tersebut mungkin yang semula untung Rp 1 juta akan menjadi Rp 1,5 atau bahkan Rp 2 juta. Namun, kalau dihitung dengan risiko harus menambah gaji pelayan, berkurangnya istirahat, kerusakan barang produksi, bahkan pembeli cepat jenuh, maka sustainibility (kesinambungan) usaha tersebut bisa jadi tidak berlangsung lama, bahkan bisa mati di usia dini. Hanya dengan hitungan yang cermat dan upaya mengalahkan emosi/nafsu semua kehancuran fatal bisa dihindari.
Nah, sekarang tinggal memilih, mau memanfaatkan momentum yang bisa terjebak dalam pola pikir aji mumpung sehingga mempercepat penjenuhan bisnis, atau menahan gejolak demi panjangnya usia bisnis Anda yang sebenarnya sudah optimum?
www.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar